Bukhari rahimahullah membuat bab dengan judul ‘Keutamaan beramal di hari-hari Tasyriq’. Beliau membawakan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika menerangkan makna ayat (yang artinya), “Dan hendaknya mereka menyebut nama Allah di hari-hari yang dikenal.” (QS. Al-Hajj : 28). Ibnu Abbas menafsirkan ‘hari-hari yang dikenal’ adalah sepuluh hari pertama (di bulan Dzulhijjah), sedangkan ‘hari-hari yang tertentu bilangannya’ [dalam QS. Baqarah : 203] adalah hari Tasyriq. Bukhari juga menuturkan riwayat bahwa dahulu Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu’anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari yang pertama tersebut. Mereka berdua bertakbir dan orang-orang pun bertakbir sebagaimana mereka berdua. Muhammad bin Ali juga bertakbir setelah menunaikan shalat sunnah (lihat Sahih Bukhari, cet. Maktabah Al-Iman, hal. 202). Di dalam syarahnya terhadap Sahih Bukhari, Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan bahwa perbuatan Muhammad bin Ali tersebut -bertakbir setelah menunaikan shalat sunnah- dilakukan ketika hari Tasyriq. Sehingga maksudnya adalah bertakbir disyariatkan pada sepuluh hari yang pertama dan juga pada hari Tasyriq (Fath Al-Bari li Ibni Rajab, 7/52. Asy-Syamilah). Namun dalam hal penentuan waktu takbir ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama, akan dipaparkan nanti insya Allah…
Di dalam syarahnya terhadap Sahih Bukhari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang mengatakan, “Yang dimaksud ‘hari-hari yang dikenal’ adalah sebelum hari Tarwiyah dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) itu sendiri. Termasuk di dalamnya juga hari Arafah. Sedangkan yang dimaksud ‘hari dengan bilangan tertentu’ adalah hari Tasyriq.” (HR. Ibnu Mardawaih, disahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar). Namun terdapat riwayat lain dari Ibnu Abbas juga yang berbunyi, “Hari-hari yang dikenal adalah hari raya kurban dan tiga hari sesudahnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah). Dan riwayat ini lebih diunggulkan oleh Ath-Thahawi daripada yang sebelumnya karena lebih sesuai dengan konteks ayat (yang artinya), “Dan supaya mereka menyebut nama Allah di hari-hari yang dikenal atas rezeki yang dilimpahkan kepada mereka berupa binatang-binatang ternak.” (QS. Al-Hajj : 28). Konteks ayat ini cocok dimaknai dengan hari-hari penyembelihan kurban. Meskipun demikian, Ibnu Hajar mengatakan bahwa hal itu tidaklah menghalangi penyebutan sepuluh hari yang pertama sebagai ‘hari-hari yang dikenal’ dan penyebutan hari Tasyriq sebagai ‘hari-hari dengan bilangan tertentu’. Bahkan penamaan hari Tasyriq dengan hari-hari dengan bilangan tertentu merupakan sesuatu yang telah disepakati berdasarkan tafsiran ayat (yang artinya), “Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari dengan bilangan tertentu.” (QS. Al-Baqarah : 203) (lihat Fath Al-Bari, 2/525).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan ‘hari-hari dengan bilangan tertentu [QS. Al-Baqarah : 203] adalah hari Tasyriq yaitu tiga hari sesudah Iedul adha. Allah memerintahkan untuk banyak mengingat-Nya pada hari-hari tersebut dikarenakan kemuliaan hari itu dan keistimewaannya dan juga karena rangkaian ibadah haji yang masih tersisa dilakukan pada saat itu, juga karena saat itu umat manusia menjadi tamu Allah ta’ala sehingga diharamkan pula puasa di hari-hari tersebut, maka berdzikir di saat itu memiliki keistimewaan yang lebih daripada hari-hari yang lainnya (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 93).
Ikrimah mengatakan bahwa makna, “Sebutlah nama Allah pada hari-hari dengan bilangan tertentu.” adalah dengan bertakbir pada hari Tasyriq setelah melakukan shalat wajib yaitu dengan mengucapkan Allahu akbar, Allahu akbar. Disebutkan pula riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang berkata, “Hari dengan bilangan tertentu adalah hari Tasyriq yaitu empat hari; hari raya kurban dan tiga hari sesudahnya.” Diriwayatkan pula pendapat serupa dari banyak ahli tafsir, di antara mereka adalah : Ibnu Umar, Abdullah bin Zubeir, Abu Musa Al-Asy’ari, Atha’, Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubeir, dan lain-lain -semoga Allah meridhai mereka-. Namun Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berpendapat bahwa hari dengan bilangan tertentu itu tiga hari; hari raya kurban dan dua hari sesudahnya sembelihlah di hari-hari itu jika mau meskipun yang paling utama adalah pada hari yang pertama. Namun pendapat yang lebih populer ialah pendapat pertama. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah yang dipegang oleh Syafi’i rahimahullah bahwa waktu penyembelihan kurban dimulai sejak hari raya sampai akhir hari Tasyriq. Terkait dengan hal itu, disyariatkan untuk bertakbir di waktu-waktu tertentu [takbir muqayyad] yaitu selepas mengerjakan shalat, dan bertakbir di waktu-waktu yang lain -bebas- [takbir muthlaq] dalam segala keadaan. Untuk penentuan batas waktu takbir ini para ulama berbeda pendapat, pendapat paling populer dan senantiasa diamalkan adalah sejak subuh hari Arafah hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq yang terakhir (diringkas dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/320-321).
Ketika mengomentari atsar dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah di atas, Ibnu Hajar mengatakan, “Saya tidak menjumpai sanad riwayat ini yang bersambung sampai kepada mereka berdua. Al-Baihaqi juga menyebutkan riwayat ini secara mu’allaq -tanpa sanad- dari mereka berdua, Al-Baghawi pun demikian. Meskipun demikian, Ath-Thahawi rahimahullah mengatakan, “Dahulu para guru kami berpendapat dengan pendapat itu; yaitu dianjurkan bertakbir pada sepuluh hari pertama.” (Fath Al-Bari, 2/526).
Oleh sebab itu Syaikh Ali bin Hasan hafizhahullah cenderung untuk mengikuti pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Syaikhul Islam mengatakan [Majmu’ Fatawa, 24/220], “Segala puji bagi Allah. Pendapat paling benar dalam masalah takbir yang dipegang oleh mayoritas ulama salaf dan para fuqaha dari kalangan sahabat dan juga para imam adalah; waktu bertakbir adalah sejak subuh hari Arafah hingga hari Tasyriq yang terakhir, dilakukan sesudah mengerjakan shalat -bahkan di sepanjang waktu tanpa ada pengkhususan, komentar Syaikh Ali- dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan bacaan takbir ketika berangkat menuju shalat Ied, hal ini merupakan kesepakatan imam yang empat.” (lihat Ahkam Al-‘Iedain, hal. 12).
Di bawah judul bab di atas -Keutamaan beramal di hari-hari Tasyriq-, Bukhari rahimahullah membawakan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidaklah beramal di sepuluh hari yang pertama lebih utama daripada beramal pada hari-hari ini. Tidak juga berjihad, kecuali orang yang berangkat (jihad) untuk berperang melawan musuh dengan jiwa dan hartanya lalu kembali tanpa membawa apa-apa (mati).” (HR. Bukhari [969], lihat Fath Al-Bari, 2/526. Lihat Sahih Bukhari cet. Maktabah Al-Iman).
Berdasarkan teks hadits di atas, sebagian penulis syarah Sahih Bukhari menjadikannya sebagai dalil untuk menyatakan bahwa beramal pada hari Tasyriq lebih utama daripada beramal pada sepuluh hari yang pertama di bulan Dzulhijjah. Ungkapan ‘pada hari-hari ini’ pada teks di atas mereka maknai dengan hari Tasyriq. Ibnu Abi Jamrah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa beramal di hari Tasyriq lebih utama daripada beramal di hari-hari yang lainnya (termasuk di antaranya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, pent).” Kemudian Ibnu Abi Jamrah mengemukakan alasan-alasannya untuk mendukung penafsiran ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari alasan-alasan yang dibawakan Ibnu Abi Jamrah adalah alasan yang cukup bagus, namun terdapat riwayat-riwayat lain yang lebih kuat yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukanlah hal itu. Di antara riwayat yang dengan tegas menyatakan bahwa yang dimaksud adalah beramal di hari-hari lain tidak lebih utama daripada beramal di sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah adalah riwayat yang berbunyi, “Tidaklah ada hari-hari yang beramal saleh pada hari itu lebih dicintai oleh Allah dibandingkan beramal pada sepuluh hari yang pertama (di bulan Dzulhijjah) ini.” (HR. Tirmidzi [688] dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, disahihkan Al-Albani dalam Sahih wa Dha’if Tirmidzi, 2/257. Asy-Syamilah). Oleh sebab itu Ibnu Hajar menilai bahwa teks hadits di atas sebagai teks yang aneh/syadz karena menyelisihi bunyi riwayat dari perawi lain yang lebih kuat hafalannya [Penilaian serupa juga diberikan Ibnu Rajab dalam syarahnya, lihat Fath Al-Bari li Ibni Rajab, 7/52. Asy-Syamilah. Sehingga kesimpulan yang bisa ditarik dari sini adalah naskah Sahih Bukhari yang mencantumkan teks hadits seperti di atas adalah naskah yang kurang valid. Pent]. Penafsiran ini riwayat dari Jabir dalam Sahih Abu Awanah dan Sahih Ibnu Hiban yang berbunyi, “Tidak ada hari-hari yang lebih utama di sisi Allah daripada hari-hari di sepuluh hari yang pertama di bulan Dzulhijjah.” Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan hari-hari yang lebih utama dalam hadits ini adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah (lihat Fath Al-Bari, 2/527-528).
Namun ternyata hal ini justru memunculkan masalah baru; dikarenakan hadits tersebut dicantumkan oleh Bukhari di bawah judul bab ‘Keutamaan beramal di hari Tasyriq’. Padahal isi hadits tersebut berbicara tentang keutamaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ibnu Rajab rahimahullah memaparkan bahwa hal itu terjadi dimungkinkan karena Bukhari mengikuti Abdurrazzaq yang mencantumkan hadits di atas di bawah judul bab keutamaan hari Tasyriq di dalam Mushannafnya [namun sampai saat ini kami belum menemukannya, wallahu a’lam. Pent] . Selain itu, di dalam rangkaian riwayat hadits ini Bukhari tidak hanya menyebutkan keutamaan hari Tasyriq bahkan dia menyebutkan pula keutamaan sepuluh hari yang pertama. Oleh sebab itu Bukhari menyebutkan tafsiran Ibnu Abbas tentang makna hari-hari yang diketahui dan hari-hari dengan bilangan tertentu. Dan beliau juga membawakan riwayat Ibnu Umar dan Abu Bakar yang bertakbir pada sepuluh hari yang pertama -padahal riwayat ini mua’llaq, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar, pent-. Di samping itu, beliau juga menukil riwayat dari Muhammad bin Ali yang bertakbir selepas shalat sunnah di hari-hari Tasyriq. Dengan memadukan riwayat-riwayat ini tampaklah bahwa yang dimaksud oleh Bukhari adalah menyebutkan keutamaan hari-hari itu semuanya -yaitu sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan hari Tasyriq- dan juga karena tidak ada hadits yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keutamaan beramal di hari Tasyriq maka Bukhari pun ‘terpaksa’ membawakan hadits mengenai keutamaan beramal di sepuluh hari yang pertama ini. Demikian keterangan Ibnu Rajab dengan beberapa penyesuaian redaksional (Fath Al-Bari li Ibni Rajab, 7/52. Asy-Syamilah).
Adapun teks Sahih Bukhari yang dapat dijadikan pegangan dalam riwayat ini ialah sebagaimana yang disebutkan dalam Fath Al-Bari (jilid 2 hal. 527, cetakan Dar Al-Hadits) dengan bunyi sebagai berikut, “Tidak ada amal pada suatu hari yang lebih utama dilakukan daripada melakukan amal pada hari-hari ini (maksudnya sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pent).” Teks ini dibawakan oleh kebanyakan periwayat Sahih Bukhari, sedangkan teks yang dinilai syadz di atas diriwayatkan oleh Karimah dari Al-Kasymihani. Sebagian pensyarah Sahih Bukhari menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ‘amal’ adalah bertakbir dan memaknai ungkapan ‘pada hari-hari ini’ dengan hari Tasyriq. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan bahwa teks yang diriwayatkan oleh Karimah dari Al-Kasymihani menyelisihi bunyi teks yang diriwayatkan oleh Abu Dzar dari Al-Kasymihani, sedangkan Abu Dzar termasuk penukil hadits yang paling kuat hafalannya dalam meriwayatkan Sahih Bukhari dari gurunya Karimah yaitu Al-Kasymihani. Oleh sebab itu teks hadits Bukhari yang diriwayatkan oleh Karimah tersebut dinilai syadz. Di dalam Sahih Bukhari yang diriwayatkan Abu Dzar teks hadits ini berbunyi, “Tidaklah beramal di hari-hari yang lain lebih utama daripada melakukan amal pada sepuluh hari (yang pertama) ini.” (lihat Fath Al-Bari, 2/527. Lihat juga catatan kaki Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah dalam Tajrid Al-Ittiba’, hal. 120).
Dengan mencermati keseluruhan teks hadits ini “Tidaklah ada hari-hari yang beramal saleh pada hari itu lebih dicintai oleh Allah dibandingkan beramal pada sepuluh hari yang pertama (di bulan Dzulhijjah) ini. Tidak juga berjihad, kecuali orang yang berangkat (jihad) untuk berperang melawan musuh dengan jiwa dan hartanya lalu kembali tanpa membawa apa-apa (mati).” (HR. Bukhari [969], namun teks ini adalah lafazh Abu Dawud [2438 ], Tirmidzi [757] dan Ibnu Majah [1727] sebagaimana disebutkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, 3/397. Asy-Syamilah) maka Ibnu Rajab rahimahullah mengambil kesimpulan bahwa melakukan amal pada hari di antara sepuluh hari yang pertama dari bulan Dzulhijjah lebih dicintai Allah daripada beramal di hari manapun di alam dunia ini tanpa ada pengecualian. Kalau amal itu lebih dicintai otomatis ia lebih utama di sisi-Nya. Apabila beramal di sepuluh hari tersebut lebih utama dan lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang lain maka beramal di hari-hari tersebut -meskipun amal itu mafdhul/kurang utama- tetap bernilai lebih utama dibandingkan dengan beramal di waktu yang lain -meskipun amalan itu lebih utama-, oleh sebab itulah para sahabat bertanya, “Apakah jihad di jalan Allah juga tidak lebih baik wahai Rasulullah?”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad.” (HR. Bukhari [969]). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengecualian satu saja yaitu jihad yang paling utama; ketika seorang berjihad dengan jiwa dan hartanya dan tidak pulang dengan membawa apa-apa [alias mati syahid]. Maka orang yang mengamalkan jihad semacam itu adalah orang yang derajatnya paling utama di sisi Allah. Adapun jenis jihad yang lainnya -masih menurut Ibnu Rajab- maka beramal di sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah tetap lebih utama di sisi Allah ‘azza wa jalla daripada amal jihad itu, begitu pula berlaku bagi amalan-amalan yang lainnya. Maka hal ini menunjukkan bahwa melakukan suatu amal yang kurang utama di waktu yang utama akan menyertakan amal tersebut [dalam hal keutamaannya] dengan amal yang utama di waktu yang lain [yang kurang utama] dan bahkan lebih tinggi darinya akibat banyaknya pelipatgandaan pahala di waktu -yang utama- itu. Demikian penjelasan Ibnu Rajab secara ringkas di dalam Lataha’if Al-Ma’arif (Dinukil melalui Tajrid Al-Ittiba’, hal. 120 karya Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah wa jazahullahu khairan).
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menambahkan taufik-Nya kepada kita untuk beramal saleh di hari-hari yang utama ini sebelum ajal menjemput dan lisan tiada lagi bisa bersuara untuk membela diri. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.